Oleh: etiek | Maret 12, 2009

PERKEBUNAN TEH


Perkebunan Teh Sebagai Lahan Produksi dan Tempat Kegiatan Alam Terbuka


Pada masa pendudukan Belanda, salah satu daya tarik sehingga mereka begitu lama bercokol adalah suburnya bumi Indonesia dengan rempah-rempahnya. Seperti juga bait Koes Ploes yang menggambarkan begitu suburnya negri kita adalah, “… Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Selain mengambil hasil tanaman dari bumi kita, para penjajah juga membawa bibit tanaman dari negeri lain untuk ditanam di sini. Seperti Kina yang dikembangkan oleh Jung Huhn, bibit teh yang dibawa oleh seorang botanis Belanda, Andreas Cleyer pada tahun 1686 ke Batavia juga coba dikembangkan.


Pada awalnya Parahyangan, Tanah Sunda adalah hutan lebat yang banyak ditakuti baik oleh pribumi maupun Belanda. Keangkeran dari kelebatan hutan diisi oleh binatang buas dan cerita-cerita seram yang semakin membuat ciut nyali. Karena keangkerannya itulah, Belanda menjadikannya sebagai tempat pembuangan. Seperti juga konon pada masa itu tahun 1741, Belanda menempat seorang serdadunya, Arie Top di wilayah hutan lebat itu. Hanya seorang? Apalagi hanya dengan pangkat kopral dengan jabatan sebagai komandan militer yang menetap di suatu daerah. Hal ini dilakukan setidaknya Belanda tidak ingin kehilangan wilayah kekuasaannya. 1 tahun kemudian, Kopral Arie Top mendapatkan teman 3 orang Eropa, 2 orang bersaudara dan seorang Kopral “buangan” dari Batavia. Buangan? Konon ia merupakan tentara nakal yang suka menipu, sehingga diasingkan di hutan angker itu!


Di sinilah berkembangnya Tanah Parahyangan. Dalam pengasingannya, ia mengisi waktu dengan berkebun dan membuka perusahaan penggergajian kayu, yang menyulapnya dalam waktu sekejap menjadi seorang tuan tanah. Melihat kenyataan ini, kemudian berduyun-duyun para petualang Eropa mengadu nasib di wilayah yang kemudian dikenal sebagai “Paradise in Exile” (Sorga dalam pembuangan).


Keindahan alam yang membuat mereka tergila-gila itu, saat ini juga dirasakan oleh kita. Bila kita dari Bandung menuju Jakarta atau sebaliknya via Cipanas, jalan yang meliuk mendaki dan menurun di antara lereng dan puncak bukit di tengah hamparan perkebunan teh diselimuti udara yang dingin itu banyak menyajikan sajian pemandangan alam yang sangat menawan. Ke arah selatan Kota Bandung, 2 daerah perkebunan teh sudah semakin dikenal baik oleh turis dalam negeri ataupun asing. Keindahan alam Perkebunan teh Pangalengan yang meninggalkan peninggalan rumah peristirahatan keluarga Bosscha juga makam K.A.R. Bosscha dan Ciwidey (Rancawalini) yang berada di bawah PTP VIII membuatnya menjadi tujuan para wisatawan menghabiskan waktu akhir pekannya. Ke arah Utara Bandung, Lembang sampai kawasan Tangkuban Parahu menjadi tujuan akhir pekan lainnya. Begitu juga ke arah timur, perkebunan teh Cikajang, Garut membuat segar mata pengemudi kendaraan bermotor saat melintasinya.



Saat ini dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan media alam sebagai tempat usahanya, seperti Outbound, Outing dan sejenisnya, perkebunan teh juga tidak luput dari bidikan mereka. Pemandangan alam dan suhu udara yang dingin, kegiatan keseharian para pemetik teh, proses pembibitan dan pembuatan teh yang bisa dikategorikan sebagai wisata ilmiah adalah beberapa objek yang menjadi lahan jualan mereka. Bukan itu saja, jalan-jalan tanah, berbatu dan beraspal yang bergunung-gunung menjadi penghubung antara kotak lahan teh satu dengan yang lainnya juga banyak diminati oleh para biker’s baik sepeda maupun motor, begitu juga dari banyak kelompok sehat yang menjadikan jalan penghubung itu sebagai arena Jalan dan lari santai (tea Walk). (Haris Mulyadi)


Tinggalkan komentar

Kategori